Langsung ke konten utama

Makalah Tujuan Dakwah

BAB I
 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 
Al-Qur‟an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup bagi umat manusia dalam menata kehidupannya, agar mereka memperoleh kebahagiaan lahir dan batin, di dunia dan akhirat kelak. Konsep-konsep yang ditawarkan al-Qur‟an selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia, karena al- Qur‟an turun untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan masalah terhadap problema tersebut, kapan dan di manapun mereka berada. Dalam kaitanya dengan penafsiran al-Qur'an, manusia memiliki kemampuan membuka cakrawala atau perspektif, terutama dalam memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat yang mengandung zanni al-dilalah (unclear statesment).
B. Rumusan Masalah 
a. Apa maksud dari surat Ali-imran ayat 159 ?
b. Apa maksud dari surat Al-fath ayat 28 ?
c. Apa maksud dari surat Al-hajj ayat 41 ?
d. Apa masksud dari surat Adz-Dzaariyaat ayat 56 ? 
C. Tujuan Masalah 
a. Untuk mengetahui tafsir surat Ali-imran ayat 159 !
b. Untuk mengetahui tafsir surat Al-Fath ayat 28 !
c. Untuk mengetahui tafsir surat Al-Hajj ayat 41 !
d. Untuk mengetahui tafsir surat Ads-Dzaariyaat ayat 56 !        
 



BAB II
PEMBAHASAN
A.    QS. Ali- Imran ayat 159
a.        Tafsir Al-Mishbah
 
Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. 
Setelah dalam ayat-ayat yang lalu dan menuntut kaum muslimin secara umum, kini tuntunan diarahkan kepada Nabi Muhammad saw, sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nabi kepada kaum muslimin khususnya mereka yang telah melakukan kesalahan dan pelanggaran dalam perang uhud. Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa perang uhud yang dapat mengundang emosi manusia untuk marah. Namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukkan kelemah lembutan Nabi saw. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan berperang, beliau menerima usul mayoritas mereka, waalau beliau sendiri kurang berkenan; beliau tidak memaki dan mempersalahkan para pemarah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus dan lain-lain. Jika demikian, maka disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, sebagaimana dipahami dari bentuk infinitif (nakirah) dari kata rahmat, bukan oleh satu sebab yang lain sebagaimana dipahami dari huruf  (ma) yang digunakan di sini dalam konteks penetapan rahmat-Nya. disebabkan karena rahmat Allah itu –engkau berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras, buruk perangai, kasar kata, lagi berhati kasar, tidak peka terhadap keadaan orang lain, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu,disebabkan oleh antipati terhadapmu.
Karena perangaimu tidak seperti itu, maka maafkanlah kesalahan- kesalahan mereka yang kali ini mereka lakukan , mohonkanlah ampun kepada Allah bagi mereka, atas dosa-dosa yang mereka lakukan dan bermusyawarah lah dengan mereka dalam urusan itu, yakni dalam urusan peperangan dan urusan dunia, bukan urusan syariat atau agama. Kemudian apabila engkau telah melakukan hal-hal di atas dan telah membulatkan tekad, melaksanakan hasil musyawarah kamu, maka laksanakan sambil bertawakkal kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal  kepada-Nya, dan dengan demikian Dia akan membantu dan membimbing mereka ke arah apa yang mereka harapkan. Firman-Nya : Maka disebabkan rahmat Allah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka, dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah swt, sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad saw., sebagaimana sabda beliau: “Aku dididik oleh Tuhanku, maka sungguh baik hasil pendidikan-Nya.”  Kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya pengetahuam yang Allah limpahkan kepada beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam. Firman-Nya : sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, mengandung makna bahwa engkau wahai Muhammad bukanlah seorang yang berhati keras. Ini dipahami dari kata Lauw yang diterjemahkan sekiranya.
 Kata ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang bersyarat, tetapi syarat tersebut tidak dapat wujud. Seperti jika seorang yang ayahnya telah meninggal kemudian berkata “Sekiranya ayah saya hidup, maka saya akan menamatkan kuliah”. Karena ayahnya telah wafat, maka kehidupan yang diandaikannya pada hakikatnya tidak ada, dan dengan demikian tamat yang diharapkannya pun tidak mungkin wujud. Jika demikian, ketika ayat ini menyatakan sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, maka berarti sikap keras lagi berhati kasar, tidak ada wujudnya, dan karena itu tidak ada wujudnya, maka tentu saja, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, tidak pernah akan terjadi. Firman-Nya : Berlaku keras lagi berhati kasar, menggambarkan sisi dalam dan sisi luar manusia, berlaku keras menunjukkan sisi luar manusia dan berhati kasar, menunjukkan sisi dalamnya. Kedua hal itu dinafikan dari Rasul saw.
Memang keduanya perlu dinafikan secara bersamaan, karena boleh jadi ada yang berlaku keras tapi hatinya lembut, atau hatinya lembut tapi tidak mengetahui sopan santun. Karena yang terbaik adalah yang mengabung keindahan sisi luar dalam perilaku yang sopan, kata-kata yang indah, sekaligus hati yang luhur, penuh kasih sayang. Alhasil penggalan ayat di atas serupa dengan firman-Nya: “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang yang mukmin” (QS. At-Taubah : 128).
 Kata musyawarah terambil dari akar syawara yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatau yang dapat diambil dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Kata musyawarah, pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasar di atas. Ada tiga sifat dan sikap secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada nabi muhammad saw. Untuk beliau laksanakan sebelum bermusyawarah. Pertama, adalah berlaku lemah-lembut, tidak kasar dan tidak berhati keras. Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi yang berada dalam posisi pemimpin, yang pertama ia harus hindari ialah tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, maka mitra musyawarah akan bertebaran pergi.Petunjuk ini dikandung oleh penggalan awal ayat diatas sampai firman-Nya. (wa lau kunta fazhzhan ghalizh al-qalb lanfadhdhu min haulik). Kadua, memberi maaf dan dan membuka lembaran baru. Dalam bahasa ayat diatas fa‟fu anhum. “Maaf:, secara harfiah berarti “menghapus”. Memaafkan, adalah menghapus bekas luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Kalau demikian untuk mencapai yang terbaik dan hasil musyawarah hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis, itu sebabnya hal ketika yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maqhfirah dan ampunan ilahi, sebagaimana ditegaskan oleh pesan QS. Al-Imran : 159 diatas  (wa istaghfir lahum).
Pesan terakhir Ilahi dalam konteks musyawarah adalah setelah musyawarah usai, Yaitu: ( fa idza „azamta fa tawakkal „ala Allah). (Apabila telah berbulat tekad, [laksanakanlah] dan berserah dirilah kepada Allah). Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri kepada-Nya.[1]
b.      Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Lemah Lembut, Pemaaf, Musyawarah, dan Tawakal
Pembicaraan ini tertuju kepada rasulullah saw. Yang pada itu terjadi suatu persoalan antara diri beliau dan kaum itu. Semangat mereka berkobar untuk pergi berperang. Kemudian barisan mereka mengalami goncangan, lalu sepertiga jumlah pasukan kembali pulang sebelum berperang. Sesudah itu, mereka mendurhakai perintah Rasul utusan Tuhan, jiwa mereka lemah karena meninginkan harta rampasan, dan mereka menjadi lesu terhadap kobaran perang. Sehingga mereka berbalik kebelakang dengan membawa kekalahan, dan mereka meninggalkan Rasul sendirian bersama sejumlah kecil kaum muslimin. Mereka meninggalkan beliau menanggung luka. Namun, beliau tetap tegar danmemanggil-manggil mereka dari belakang , tetapi mereka tidak menoleh kepada seorang pun.
Firman ini di tujukan kepada Rasulullah saw. Untuk menenangkan dan menyenangkan hati beliau, dan ditujukan kepada kaum muslimin untuk menyadarkan mereka terhadap nikmat Allah atas mereka. Diingatkan-Nya kepada beliau dan kepada mereka akan rahmat Allah yang terlukis di dalam akhlak beliau yang mulia dan penyayang., dan menjadi tambatan hatipara pengikut beliau. Hal itu dimaksudkan untuk memfokuskan perhatian kepada rahmat yang tersimpan dari dalam hati beliau. Sehingga bekas-bekasnya dapat mengungguli tindakan mereka terhadap beliau, dan merka dapat merasakan hakikat nikmat Illahi yang berupa nabi yang penyayang ini. Kemudian diserunya mereka, dimaafkannya kesalahan  mereka, dan dimintanya ampunan kepada Allah bagi mereka. Diajaknya mereka bermusyawarah dalam menghadapi urusan ini, sebagaimana beliau biasa bermusyawarah dengan mereka, dengan tidak terpengaruh emosinya terhadap hasil-hasil musyawarah itu yang dapat membatalkan prinsip yang asasi dalam kehidupan islami.
“maka, disebabakan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekirannya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu...”
Inilah rahmat Allah  yang meliputi Rasulullah dan meliputi mereka, yang menjadikan beliau saw. Begitu penyayang dan lemah lembut kepada mereka. Seandainya beliau bersikap kerasdan berhatikasar, niscaya hati orang-orang disekitar beliau tidak akan  tertarik kepada beliau, dan perasaan mereka tidak akan terlambat pada beliau. Manusia itu senantiasa memerlukan nauangan yang penuh kasih sayang, pemeliharaan yang optimal, wajah yang ceria dan peramah, cinta dan kasih sayang, dan jiwa kepenyantunan yang tidak menjadi sempit karena kebodohan, kelemahan, dan kekurangan mereka. Mereka memerlukan hati yang agung, yang suka memberi kepada mereka dan tidak memngingkinkan duka deritanya dipikul mereka, dan yang senantiasa merekadapatkan padannya kepedulian, perhatian, pemeliharaan, kelemahlembutan, kelapangan dada, cinta kasih, dan kerelaan.
Demikianlah hati rasulullah saw. Dan kehidupan beliau bersama masyarakat. Beliau tidak pernah marah karena persoalan pribadi, tak pernah sempit dadanya menghadapi kelemahan mereka selaku manusia dan tak pernah mengumpulkan kekayaan dunia untuk dirinya sendiri, bahkan beliau berikan kepada mereka apa yang beliau miliki dengan lapang dada dan rasa lega. Kepenyantunan, kesabaran, kebajikan, kelemah lembutan dan cinta kasihnya yang mulia senantiasa meliputi mereka. Tidak ada seorangpu yang bergaul dengan beliau, melainkan hatinya akan dipenuhi rasa cinta kepada beliau melainkan hatinya akan dipenuhi rasa cinta kepada beliau, sebagai hasil yang di limpahkan beliau yang besar dan lapang.
Semua itu adalah rahmat dari Allah kepada beliau dan kepada umat beliau. Diingatkan-Nya mereka kepada rahmat itu dalam urusan ini, yang ditindak lanjuti dengan pengaturandan penataan kehidupan umat sebagaimana yang Dia kehendaki,
“...Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu...”
Dengan nash yang tegas ini, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”, Islam menerapkan prinsipini dalam sistem pemerintahan, hingga Muhammad Rasulullah saw. Sendiri melakukannya. Ini adalah nash yang pasti dan tidak meninggalkan keraguan dalam hati umat islam bahwa syura merupakan mabda’asasi’ prinsip dasar’ dimana nizham islam tidak ditegakkan di atas prinsip lain. Adapun bentuk syura beserta implimentasinya, adalah persoalan teknis yang dapat berkembang sesuai dengan aturan yang berlaku dikalangan umat dan kondisi yang melingkupi kehidupannya. Maka, ssemu bentuk yang melingkupi kehidupannya. Maka semua bentuk dan cara yang dapat merealisasikan syura, bukan sekedar simbol lahiriahnya saja, adalah dari Islam.
Nash ini datang sesudah terjadinnya keputusan-keputusan syura yang kelihatannya secara lahiriah mengandung resiko yang pahit, dan pemberlakuannya secara lahiriah menyebabkan terjadinya kerusakan dalam barisan kaum muslimin, karena bersilang pendapatnya pandangan manusia. Segolongan orang berpendapat agar kaum muslimin tetap tinggal di Madinah saja untuk melindunginya. Sehingga, apabila musuh datang menyerang, maka mereka akan menyambut serangan mereka di mulut—mulut jalan. Segolongan lagi dengan semangat yang berkobar-kobar melontarkan pendapat pendapat agar kaum musliminkeluar dari Madinah untuk menghadapi kaum musyrikin.
Nah karena perbedaan pendapat ini, maka terjadilah kerusakan pada kesatuan barisan umat islam. Tiba-tiba saja Abdullah bin Ubay bin Salul kembali pulang bersama sebagian pasukan, sedangkan musuh sudah berada di pintu-pintu kota. Ini merupakan peristiwa yang besar dan kerusakan yang mengkhawatirkan.
Secara lahiriyah pelaksanaan keputusan musyawarah (yang memutuskan untuk keluar dari madinah) itu tidak menguntungkan dilihat dari segi kemiliteran, karena bertentangan dengan usulan “orang-orang terdahulu” supaya tetap bertahan di Madinah, sebagaimana diusulkan Abdullah bin Ubay. Kaum muslimindalam peperangan sesudahnya, yaitu perang Ahzab, melakukan tindakan yang sebaliknnya. Yaitu tetap bertahan dimadinah dengan menggali parit, dan tidak keluar  menyambut musuh, setelah mereka mendapat pelajaran dari peristiwa perang Uhud.
Rasulullah saw. Bukannya tidak mengetahui akibat buruk yang bakal menimpa barisan umat Islam kalau mereka keluar dari Madinah. Hal itu sudah beliau ketahui lewat peristiwa luar biasa yang terjadi pada beliau, yaitu rukya shadiqah’mimpi yang benar’ yang benar dan beliau alami dan beliau ketahui realisasinya. Beliau telah menakwilkan mimpi itu bahwa akan ada yang terbunuh dari kalangan keluarga beliau, akan ada yang gugur dari sahabat-sahabat beliau, dan kota Madinah adalah seperti baju besi yang melindungi. Sebenarnya beliau berhak untuk membatalkan hasil keputusan musyawarah itu, tetapi beliau tetap melaksanakan juuga meskipun beliau mengetahui bahwa di belakang nanti mereka akan mengalami penderitaan, kerugian, dan pengorbanan. Semuanya beliau lakukan karena memantapkan prinsip (memberlakukan  hasil musyawarah), mengajari jamaah, dan mendidik umat itu lebih besar nilainya daripada kerugian yang bersifat sementara waktu itu.
Adalah hak kepemimpinan nubuwah untuk membuang prinsip musyawarah secara total setelah terjadinnya peperangan itu, setalah terpecah belahnya barisan kaum muslimin pada saat yang amat gawat, dan sesudah mengalami akibat yang pahit pada akhir peperangan. Akan tetapi, islam sedang membangun umat, mendidiknya, dan menyiapkannya untuk memimpin kemanusiaan. Allah mengetahui bahwa sebaik-baik jalan untuk mendidik umat dan mempersiapkannya untuk memimpin kemanusiaan. Allah mengetahui bahwa sebaik-baik jalan untuk mendidik umat dan mempersiapkannya untuk memegang tampuk kepemimpinan yang lurus ialah yang mendidiknya bermusyawarah, melaksanakan tanggung jawab terhadap pemikiran dan tindakan mereka. Karena mereka tidak dapat belajar tentang mana yang  tepat, kecuali bila mereka melakukan kekeliruan.
      “...kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya...”
Urgensi syura ialah membolak-balik ppemikiran dan memilih pandangn yang diajukan. Apabila sudah sampai pada batas ini, maka selesailah peraturan syura dan tibalah tahap pelaksanaan dengan penuh tekad dan semangat, dengan berkawakal kepada Allah menghubungkan urusan kepada kadar-Nya, dan menyerahkan kepada kehendak-Nya, bagaimanapun hasilnya nanti.
Sebagaimana halnya Rasulullah saw. Menyampaikan pelajaran pelajaran Nabawi dan Rabbani, ketika beliau mengajari umat bagaimana bermusyawarah, menyampaikan pendapat, dan memikul tanggung jawab untuk melaksanakannya, dalam kondisi yang sangat kritis, maka beliau juga menyampaikan pelajaran kedua tentang pelaksanaannya, sesudah musyawarah , tentang bertawakal kepada Allah, dan dengan jiwa yang pasrah menerima kadar-Nya. Meskipun beliau mengetahui bagaimana  berlakunnya nanti beserta arahnya sebagaimana dalamperang Uhud, maka beliau melaksanakan hasilkeputusan musyawarah itu untuk keluar menyonsong musuh. Beliau masuk kedalam rumah lantas mengenakan baju perangnya dan pakaian untuk umatnya, padahal beliau mengetahui kemana beliau harus berjalan, dan beliau mengetahui pula penderitaan  dan pengorbanan yang sudah menanti beliau dan  menanti sahabat-sahabat yang berperang bersama beliau. Sehingga pada kesempatan lain, timbullah kebimbangan dalam hati orang-orang yang tadinnya beremngat dan mereka khawatir bahwa mereka telah memaksa Rasulullah saw. Terhadap sesuatu yang tidak beliau kehendaki, dan mereka tidak menyerahkan urusan itu kepada beliau, apakah beliau akan keluar atau tetap tinggal didalam kota Madinah saja.
Ketika ada kesempatan, Rasulullah saw. Tidak tergerak hatinya untuk surut kembali. Karena beliau ingin memberi pelajaran secara tuntas kepada mereka, pelajaran, pelajaran tentang syura (musyawarah), kemudian tekad dan pelaksanaan, disertai dengan bertawakal kepada Allah dan menyerah kepada kadar-Nya. Juga hendak mengajarkan kepada mereka bahwa syura itu ada waktunya, dan sesudah itu tidak boleh ada keragu-raguan dan kebimbangan, untuk menimbang-nimbang dan mengkaji ulang, serta membolak-balik pikiran. Kerena, semua itu cenderung membawa kepada kelumpuhan, kepasifan, dan kegoyahan yang tak ada kesudahannya. Yang ada hanya pemikiran dan musyawarah, tekad dan pelaksanaan, serta tawaqal kepada Allah, suatu sikap yang dicintai oleh Allah,
“... Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawaqal kepada-Nya.”
Tabiat yang disukai oleh Allah dan disukai pelakunya oleh-Nya ialah tabiat yang seharusnya diminati oleh orang-orang mukmin, bahkan menjadi ciri khas orang-orang yang beriman. Tawakal kepada Allah dengan mengembalikan segala urusan kepada-Nya pada akhirnya, adalah garis perimbangan terakhir dalam tashawwur islami dan dalam kehidupan islami. Ini adalah hubungan dengan hakikat bahwa kembali segala urusan adalah kepada Allah dan hamba Allah berbuat terhadap apa yang dikehendaki-Nya.
Ini adalah sebuah pelajaran dari sekian pelajaran  penting dalam perang Uhud. Ini merupakan modal umat islam dalam semua generasinnya, bukan modal generasitertentu dalam masa tertentu saja.
Untuk menetapkan hakikat tawakal kepada Allah dan menegakkannya di atas prinsip-prinsipnya yang mantap, maka ayat berikutnya menetapkan bahwa kekuatan yang aktif di dalam memberikan pertolongan dan kehinaan adalah kekuatan Allah. Maka, di sisi kekuatan Allahlah dijauhkannya kekalahan, kepada-Nyalah arah ditujukan dan kepada-Nyalah  tawakal dilakukan, sesudah melakukan berbagai persiapan, membersihkan tangan dari akibat-akibatnya, dan menggantungkannya kepada kadar Allah. [2]












B. QS. AL-Fath ayat 28 
a. Tafsir Al-Mishbah
Artinaya : “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. dan cukuplah Allah sebagai saksi”.
            Dia-lah tidak ada selain-Nya yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk yang sempurna dan agama yang haq yang petunjuknya semua benar, informasinya pun sesuai dengan kenyataan, agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama melalui argumentasi- argumentasinya yang sangat  akurat serta jumlah umatnya yang sangat besar. Dan cukuplah Allah sebagai saksi menyangkut hal ini.
Firman-Nya  ( kafa bi Allahi syahidan/cukuplah Allah sebagai saksi, sesaksian-Nya itu antara lain melalui mukjizat-mukjizat al-qur‟an yang ditantangkan  kepada manusia dan yang ternyata mereka tidak mampu melayani tantangan itu. Pemaparan mukjizat serupa dengan firman Allah : “Sungguh benar hamba-ku yang menampilkan mukjizat ini.” 
 Kata  ( al-huda) dapat dipahami dalam arti petunjuk al-qur‟an dan  ( din al-haqq/ agama yang benar) adalah yang lebih umum dari petunjuk al-qur‟an yaitu tuntutan.
          Rasul saw. Bisa juga kata al-huda dipahami dalam arti prinsip-prinsip ajaran agama yakni akidah dan akhlak, sedang din al-haqq adalah ketetapan-ketetapan hukum agama.
Sayyid Quthub mengomentari firman-Nya: (li yuzhhirahu „ala d-kullihi/ agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama, bahwa agama Allah telah berjaya bukan saja di jazirah Arab, bahkan di seluruh persada dunia sebelum berlalu setengah abad dari turunnya ayat ini. Agama ini berjaya di Persia, pada masa imperium Persia, dan dalam wilayah yang cukup luas pada masa imperium kaisar Romawi. Demikian juga di india, cina, Asia Tenggara, di Melayu dan Indonesia. Wilayah-wilayah tersebut meerupakan bagian yang terpenting dari persada bumi ini sejak abad ke enam dan pertengahan abad ke tujuh Masehi.[3]

C. QS. Al-Hajj ayat 41
a. Tafsir  Al-Mishbah

Artinya : “Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”. 
Ayat-ayat yang yang lalu menjanjikan pertolongan dan bantuan Allah kepada mereka yang dianiaya dan terusir dari kampung halaman mereka.Ayat ini menjelaskan lebih jauh sifat-sifat mereka, bila mereka memperoleh kemenangan dan telah berhasil membangun masyarakat. Ayat diatas menyatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang jika Kami anugerahkan kepada kemenangan dan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yakni Kami berikan mereka kekuasaan mengelola satu wilayah dalam keadaan mereka meredeka dan berdaulat niscaya mereka yakni masyarakat itu melaksanakan shalat secarasempurna rukun, syarat dan sunnah-sunnahnya dan mereka juga menunaikan zakat sesuai kadar waktu, sasaran dan cara penyaluran yang ditetapkan Allah, serta mereka menyuruh anggota-anggota masyarakatnya agar berbuat yang ma‟ruf , yakni nilai-nilai luhur serta adat istiadat yang diakui baik dalam masyarakat itu, lagi tidak bertentangan dengan nilai-nilai Ilahiah dan mereka mencegah dari yang mungkar; yakni nilai-nilai yang buruk lagi diingkari oleh akal sehat masyarakat, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. Dialah yang memenangkan siapa yang hendak dimenangkan-Nya dan Dia pula yang menjatuhkan kekalahan bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia juga yang menentukan masa kemenangan dan kekalahan itu.
Ayat di atas mencerminkan sekelumit dari ciri-ciri masyarakat yang diidamkan Islam, kapan dan di mana pun, dan yang telah terbukti dalam sejarah melalui masyarakt Nabi Muhammad saw. Dan para sahabat beliau. 
Masyarakat itu adalah yang pemimpin-pemimpin dan anggota-anggotanya secara kolektif dinilai bertakwa, sehingga hubungan mereka dengan Allah swt. Baik dan jauh dari kekejian dan kemungkaran, sebagaimana dicerminkan oleh sikap mereka yang selalu melaksanakan shalat dan harmonis pula hubungan anggota masyarakat, termasuk antar kaum berpunya dan kaum lemah yang dicerminkan oleh ayat di atas dengan menunaikan zakat. Di samping itu mereka juga menegakkan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya, yaitu nilai-nilai ma‟ruf dan mencegah perbuatan yang mungkar. Pelaksanaan kedua hal tersebut menjadikan masyarakat melaksanakan kontrol sosial, sehingga mereka saling ingat mengingatkan dalam hal kebajikan, dan saling mencegah terjadinya pelanggaran.[4] 

D. QS. Adz-Dzariyat Ayat 56
a.Tafsir Al-Mishbah
 


Artinya :
“ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada- Ku”.
Kalau sebelum ini Allah telah memerintahkan agar manusia berlari dan bersegera menuju Allah maka di sini dijelaskan mengapa manusia harus bangkit berlari dan bersegera menuju Allah. Ayat di atas menyatakan: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia untuk satu manfaat yang kembali kepda diri-ku. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas mereka adalah beribadah kepada-ku.
Ayat diatas menggunakan bentuk persona pertama (Aku) setelah sebelumnya menggunakan persona ketiga (Dia/Allah). Ini bukan saja bertujuan menekankan pesan yang dikandungnya tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan Allah melibatkan malaikat atau sebab-sebab lainnya.
Didahulukannya penyebutan kata  (al-jinn/jin) dari kata   (al-ins/manusia) karena memang jin lebih dahulu diciptakan Allah dari pada manusia. Huruf  lam pada kata  (li ya‟ budun) bukan berarti agar supaya mereka beribadah atau agar Allah disembah.
Huruf lam pada firman-Nya QS. Al-Qashash ayat : 8



Bila  huruf lam pada kata liyakuna dipahami dalam arti agar supaya, maka ayat diatas berarti: Maka dipungutlah dia oleh keluarga fir‟aun agar supaya dia Musa yang dipungut itu menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka”.
Thabathaba‟i memahami huruf lam pada ayat yang ditafsirkan ini dalam arti agar supaya, yakni tujuan penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah.Dengan demikian harus dipahami bahwa ada tujuan bagi Allah swt dalam perbuatan-Nya, tetapi dalam diri-Nya, bukan diluar dzat-Nya. Ada tujuan yang bertujuan kepada perbuatan itu sendiri yakni kesempurnaan perbuatan. Ibadah adalah tujuan dari penciptaan manusia dan kesempurnaan yang kembali kepada penciptaan manusia dan kesempurnaan yang kembali kepada penciptaan itu.[5]

b.      tafsir Ibnu katsir

Maksud dari ayat ini adalah “ Aku menciptakan mereka itu dengan tujuan untuk menyuruh mereka beribadah kepadaKu, bukan karena Aku membutuhkan mereka. Mengenai firman Allah Ta’ala (illaliya’budun)”melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu”.Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas:” Artinya, melainkan supaya mereka mau tuntuk beribadah kepadaKu, baik secara suka rela maupun terpaksa. Dan itu pula yang menjadi pilihan Ibnu Jarir. Sedangan Ibnu Jurajj menyebutkan:” yakni, sepaya mereka mengenalKu.” Dan masih mengenai firmannya Illaliya’budun” melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” Ar-Rabi’ bin Annas mengatakan: maksudnya tidak lain kecuali untuk beribadah”. As- Suddi mengemukakan:”Diantara ibadah itu ada yang bermanfaat dan ada pula yang tidak bermanfaat”. Allah berfirman dalam Q.S Luqman ayat 25 yang artinya.”Dan sesungguhnya jika engkau tanyakan kepada mereka: siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?’Tentu mereka akan menjawab Allah.”[6]

                                                      

















BAB III
 PENUTUP
A. KESIMPULAN
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. 
“ Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. dan cukuplah Allah sebagai saksi”. 
“Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”. 
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. 
B. SARAN
Dengan senang hati kami ekspresikan kepada kita semua yang telah membaca makalah ini, namun dibalik ini semua kami sangat mengharapkan masukan tentang makalah ini, tentu didalam kami menyusun makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Maka dari itu kami berharap kepada kita semua untuk memberukan masukan yang bersifat membangun. kami ucapkan terimakasih.    
 




DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Tangerang; Lentera Hati. 2005.
Abdullah bin Muhammad,Tafsir Ibnu katsir Jilid 7,Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i. 2006.
Sayyid quthb, Tafsir Fi zhilalil Qur’an, Jakarta :Gema insani. 2001.




[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,[ Tangerang: Lentera Hati, 2005], hal. 255-260.

[2] Sayyid quthb, Tafsir Fi zhilalil Qur’an,Gema insani, Jakarta: (2001) Hal  192-196
[3] Ibid, hal.212-215.
[4] Ibid,hal. 72-74.
[5] Ibid, hal. 355-359.
[6] Abdullah Bin Muhammad Tafsir Ibnu katsir Jilid 7, Hal 546

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH TENTANG IMAN, ISLAM DAN IHSAN

BAB  I PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG   1.     Latar belakang masalah Artinya: “ Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan” . Dalam agama Islam memiliki tiga tingkatan yaitu Islam, Iman, Ihsan. Tiap-tiap tingkatan memiliki rukun-rukun yang membangunnya. Jika Islam dan Iman disebut secara bersamaan, maka yang dimaksud Islam adalah amalan-amalan yang tampak dan mempunyai lima rukun. Sedangkan yang dimaksud Iman adalah amal-amal batin yang memiliki enam rukun. Dan jika keduanya berdiri sendiri-sendiri, maka masing-masing menyandang makna dan hukumnya tersendiri. Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai at

keripik daun kopi Takengon